TRAINING KHUTBAH
JUM’AT
Dewan Masjid Digital Indonesia
I. RINGKASAN FIQIH KHOTBAH
Ketentuan Umum Shalat Jum’at
1.
Hukum shalat Jum’at wajib bagi siapa saja yang
memenuhi syarat. Dasarnya firman Allah SWT. surat al-Jumu’ah: 9
2.
Waktu shalat: Waktu shalat Dhuhur, dimulai
dari waktu zawal..
3.
Wajib meninggalkan semua mu’amalah pada
saat adzan kedua.
4.
Shalat jum’at wajib berjamaah, dengan adzan,
khutbah dua kali dan shalat dua rakaat.
Rukun Khutbah Jum’at
1.
Mazhab Hanafi: Rukun khutbah hanya satu,
dzikir. Bisa tahmid, tasbih atau tahlil.
2.
Mazhab Maliki: Hanya satu, yaitu peringatan (tahdzir)
dan kabar gembira (tabsyir).
3.
Mazhab Syafii: (1) Hamdalah; (2) Shalawat: (3)
Wasiat takwa; (4) Membaca sebagian ayat al-Qur’an; (5) Doa untuk kaum Muslimin
dan Muslimat – khutbah kedua.
4.
Mazhab Hanbali: (1) Hamdalah; (2) Shalawat:
(3) Membaca sebagian ayat al-Qur’an; (4) Wasiat takwa.
Syarat Khutbah
1.
Khutbah pertama dan kedua disampaikan sebelum
shalat.
2.
Khatib harus niat khutbah.
3.
Berbahasa Arab.
4.
Disampaikan pada waktunya, yaitu sebelum
shalat.
5.
Disampaikan dengan keras dan lantang hingga
terdengar oleh jamaah.
Adab Khutbah
1.
Memendekkan khutbah, dan memanjang-kan shalat.
2.
Menggunakan gaya retorika (khithabah), bukan
gaya mengajar, presentasi, berkisah atau bersyair.
3.
Menjauhi sejauh-jauhnya gaya melodi dalam
berkhutbah, termasuk membaca ayat al-Qur’an..
Tata Cara
Khutbah Jum’at
1.
Naik ke Mimbar dan Memberi Salam.
2.
Duduk dan Mendengarkan Adzan.
3.
Memenuhi Rukun Khutbah ***.
4.
Menyampaikan Khutbah dgn Singkat, Padat dan
Suara Yang Lantang.
5.
Boleh Menggunakan Tongkat.
Rukun
Khutbah
1.
Hamdalah
2.
Syahadat
3.
Sholawat
Kepada Nabi SAW
4.
Seruan
Taqwa
5.
Ayat Al
Qur’an
II. ANALISIS NASKAH
KHUTBAH
Memenuhi Aspek WyWaH
·
WHY
·
WHAT
·
HOW
Jamaah Jum’at yang dimuliakan Allah WHY
(ancaman atau pujian)
Zakat adalah
salah satu kewajiban dalam Islam sebagaimana kewajiban lainnya, seperti sholat,
puasa dan haji. Penunaian zakat harus sesuai ketentuan syariat apa adanya, dan
bukan termasuk bagian ijtihadi, atau dengan kata lain, zakat bersifat tawqifi,
harus diterima apa adanya, pasalnya adalah hukum zakat sebagaimana hukum ibadah
lainnya tidak memiliki illat apapun yang memungkinkan untuk di-qiyaskan
atau menerima ijtihad. Kewajiban zakat sudah sangat jelas, dan penunaian zakat
adalah untuk ketaatan para muzakki yang diambil hartanya untuk dibagikan kepada
para mustahik, untuk mensucikan mereka, sebagaimana firman Allah SWT :
خُذْ
مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
Ambillah zakat
dari sebagian harta mereka yang bisa membersihkan dan mensucikan mereka (TQS at-Taubah [9]: 103).
Allah
SWT mengancam dengan keras terhadap orang yang meninggalkan kewajiban zakat dan
menyebutnya dengan orang yang bakhil, firmanNya:
وَلاَ
يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَآءَاتَاهُمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ
خَيْرًا لَّهُمْ بَلْ هُوَ شَرُُّ لَّهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَللهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَاللهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ
“Sekali-kali
janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka
dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan
dikalungkan di lehernya kelak pada hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala
warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan” [Ali Imran:180].
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang dalam tafsir ayat ini:
Yakni, janganlah sekali-kali orang yang bakhil menyangka, bahwa dia
mengumpulkan harta itu akan bermanfaat baginya. Bahkan hal itu akan
membahayakannya dalam (urusan) agamanya, dan kemungkinan juga dalam (urusan)
dunianya. Kemudian Allah memberitakan tentang tempat kembali hartanya pada hari
kiamat, Dia berfirman,“Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di
leher mereka, kelak pada hari kiamat.” [Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali Imran
ayat 180]
Jamaah Jum’at yang dimuliakan Allah WHAT
(Penjelasan Isi)
Fikih zakat saat ini berusaha terus dikembangkan dan dimodifikasi.
Hasilnya, salah satunya, adalah munculnya istilah zakat profesi yang baru
muncul sekitar 50 tahun yang lalu dan tidak ada syariatnya pada masa Nabi SAW
dan para Sahabat RA. Selain itu praktik zakat saat ini telah diwarnai oleh
bid’ah modern, yakni logika kapitalistik. Berdasarkan logika ini muncullah
istilah zakat produktif. Dengan logika ini, zakat mesti dijadikan modal usaha
agar si miskin tidak dididik untuk malas bekerja. Logika semacam ini bukan saja
merendahkan martabat manusia, tetapi sekaligus menunjukkan sikap arogan kepada
Allah SWT. Pasalnya, Allah SWT sendiri tidak mensyaratkan demikian. Apalagi
manusia normal tak akan pernah malas bekerja dan bercita-cita menjadi
pengangguran.
Jamaah Jum’at yang dimuliakan Allah
Masalahnya adalah kita hidup dalam sistem Kapitalisme yang tidak adil
alias zalim, bahkan cenderung kejam.
Bisa kita perhatikan pada saat ini, setelah triliunan rupiah dana haji
milik umat dilirik untuk digunakan membiayai pembangunan infrastrukur,
Pemerintah Jokowi kini membidik dana zakat. Sebagaimana disuarakan oleh Menteri
Agama Lukman Saefudin baru-baru ini, Pemerintah berencana memungut zakat 2,5%
dari gaji Aparatur Sipil Negeri (ASN). Menteri Agama beralasan, selama ini APBN
dan APBD tidak cukup. Menurut Menteri Agama pula, potensi zakat dari ASN bisa
mencapai Rp 15 triliun pertahun.
Jamaah Jum’at yang dimuliakan Allah
Rencana Pemerintah ini menuai kontra. Alasannya bermacam-macam. Salah
satunya adalah secara syar’i tidak ada zakat atas gaji/penghasilan (zakat
profesi) dalam Islam. Apalagi kebanyakan gaji ASN kecil. Belum lagi jika zakat
penghasilan itu harus dipotong tiap bulan dari gaji ASN, yang tentu mengabaikan
patokan nishâb dan haul.
Pertanyaannya:
Mengapa bisa muncul gagasan tentang zakat profesi, termasuk zakat atas
gaji/penghasilan ASN? Mengapa dana zakat pun disasar demi menutupi defisit APBN
dan APBD di tengah kekayaan SDA kita yang melimpah-ruah?
Jamaah Jum’at yang dimuliakan Allah HOW (Solusi dan Aksi)
Jika Pemerintah serius ingin menambah pemasukan APBN yang dibutuhkan untuk
mensejahterakan rakyat, tentu tak seharusnya Pemerintah membidik dana zakat.
Dan untuk mengatasi kemiskinan, juga untuk membiayai pembangunan, Islam
memiliki mekanisme tersendiri. Salah satunya melalui kewajiban negara untuk
mengelola harta milik umum (seperti sumberdaya alam/SDA) yang hasilnya
sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Karena itulah harta milik umum
haram diserahkan kepada pihak swasta apalagi asing. Dasarnya antara lain
riwayat penuturan Abyadh Bin Hammal ra. bahwa: Ia pernah mendatangi Rasulullah
saw. untuk meminta tambang garam—menurut Ibnu al-Mutawakil di Ma’rib—dan beliau
memberikan tambang itu kepada Abyadh. Namun, tatkala tambang garam itu telah
diberikan, tiba-tiba seseorang di majelis berkata kepada Rasulullah saw., “Tahukah
Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberi dia
harta yang seperti air yang mengalir (berlimpah).” Mendengar itu Rasulullah
saw. menarik kembali kepemilikan tambang tersebut dari Abyadh (HR Abu Dawud).
Hadis ini—selain beberapa nas lainnya—menjadi dasar keharaman negara
menyerahkan kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak kepada
individu, swasta apalagi asing.
Penerapan hadis di atas tentu membutuhkan penerapan syariah Islam secara
kâffah oleh negara. Di sinilah pentingnya Khilafah/daulah Islam. Pasalnya,
hanya Khilafah/ daulah Islam yang bisa menerapkan syariah Islam secara kâffah,
termasuk dalam pengelolaan kekayaan milik umum demi sebesar-besarnya kemakmuran
dan kesejahtreraan rakyat. Karena itu sungguh aneh dan naif jika masih ada
orang yang membenci Khilafah dan mempersekusi para pengusungnya.
III. POLA PERUMUSAN MATERI DAKWAH
1. Problem Solving
Ibarat penyakit,
pola ini berusaha mengobati penyakit Dalam suatu masyarakat.
Ada tiga muatan
dalam pola ini.
1.
Mengungkap fakta dan data tentang “penyakit masyarakat” dan akibat
negatifnya.
2. Mengungkap
penyebab-penyebab dari “penyakit masyarakat”, baik yang dianalisis dari fakta
dan data maupun dari dalil Al-Qur’an dan Hadits serta pendapat para pakar.
3. Mencarikan
obat atau jalan keluar dari “penyakit masyarakat”
2. Pertanyaan Dan Jawaban
Pola ini dimaksudkan untuk menjawab
persoalan-persoalan penting yang perlu diketahui oleh umat dalam upaya
membentuk pemahaman yang utuh tentang suatu masalah.
Ada tiga muatan
yang terkandung dalam pola ini:
1. Mengungkap
pentingnya masalah yang akan dibahas.
2. Mengungkap
permasalahan yang dihadapi sebagai kendala dalam memiliki sikap positif.
3. Memberikan
Jawaban dari permasalahan yang dihadapi dalam pembahasannya. Ini merupakan
sesuatu yang terpenting dalam bahasan
3. Pendekatan Tematik Ayat Dan Hadits
Ini merupakan
pola yang membahas suatu masalah dalam Al-Qur’an dan Hadits
Ada tiga langkah
yang perlu ditempuh:
1.
Tentukan Masalah yang hendak dibahas, misalnya tentang taqwa, mahabbah
sebagainya, jelaskan urgensinya.
2. Batasi
masalahnya agar tidak terlalu luas, misalnya dengan membahas urgensi taqwa,
ciri-ciri orang bertaqwa, keuntungan orang yang bertaqwa, dll.
3. Gunakan dalil-dalil yang terkait dengan pokok-pokok
bahasannya, baik dari Al-Qur’an maupun hadits .
4. Mensistimatisasikan Ayat & Hadits
Ayat dan hadits, tentu saja mengandung
banyak masalah yang perlu dikaji oleh umat Islam. Untuk memudahkan pemahaman,
perlu dibahas dengan pendekatan yang sistimatis.
Ada tiga langkah
yang perlu ditempuh dalam kaitan ini.
1.
Bacakan ayat atau hadits dengan mengantarkan terlebih dahulu kepada
masalah yang dikandungnya.
2. Susun kandungan ayat tersebut menjadi
poin-poin bahasan yang harus dijelaskan.
3. Kaitkan
bahasan masing-masing poin dengan ayat-ayat yang senada dan jadikan
masalah-masalah aktual sebagai contoh kasusnya.
5. Memilih Uraian Hadits Bernomor.
Banyak hadits-hadits dengan
ungkapan yang sistimatis melalui penyebutan angka yang terkandung di dalamnya . Ada dua Langkah yang harus
ditempuh:
1.
Uraikan pentingnya masalah yang Terkandung
dalam hadits tersebut.
2. Bahas poin-poin hadits satu
persatu, jelaskan dengan ayat dan hadits-hadits terkait serta berilah ilustrasi
yang menarik dan aktual.
6. Menanggapi Masalah Aktual Menurut Islam
Ada banyak masalah dan
kejadian aktual yang perlu ditanggapi menurut ajaran Islam. Ada tiga langkah yang harus
ditempuh dalam membahas pola ini.
1. Ungkap masalah yang dimaksud dan pentingnya bagi kaum muslimin
menyikapi masalah ini.
2.
Kaitkan masalah tersebut dengan sudut pandang
ajaran Islam, baik yang berkaitan dengan hukum maupun petunjuk-petunjuk teknis
dalam Al-Qur’an dan hadits.
3. Ilustrasikan masalah tersebut dengan sikap generasi terdahulu, pada
masa Rasul maupun sahabat dan ulama-ulama kemudian.
Keuntungan
·
Memiliki Penguasaan Materi Yang Banyak.
·
Materi Dapat Disampaikan Secara:
1.
Singkat.
2.
Padat 3. Sistimatis
IV. CIRI PIDATO YANG
BAIK
1.
Pidato Yang Berhubungan.
1)
Mengandung kesesuaian hubungan antara
pembeberan masalah dengan fakta,
pendapat atau penilaian pribadi.
2)
Memiliki objektivitas dan unsur-unsur yang
mengandung kebenaran.
3)
Memiliki hubungan yang serasi antara isi
pidato dengan formulasinya sehingga terdengar indah, namun tidak dengan bahasa
yang berlebihan.
4)
Rasulullah Saw seringkali mengemukakan
hubungan yang terkait antara idealita dengan realitas yang seharusnya. misalnya: Barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berbicara yang baik atau
diam.
2. Pidato Yang
Jelas.
1)
Berpidato yang jelas adalah yang bisa dipahami
oleh pendengar sebagaimana maksud dari yang berpidato, pendengar tidak salah
paham.
2)
Pembicara harus memahami apa yang hendak
dibicarakan dan tidak ada pendapat yang hendak disembunyikan.
3)
Rasulullah Saw selalu berpesan dengan pesan
yang sangat jelas, misalnya dengan kalimat: wajib atasmu berlaku jujur, karena
jujur membawa kamu kepada kebajikan dan kebajikan membawa kamu kepada surga.
Jauhilah dusta, karena dusta itu membawa kamu kepada kedurhakaan dan
kedurhakaan itu membawa kamu kepada neraka.
3. Pidato Yang
Hidup.
1)
Pidato yang hidup adalah pidato yang menarik
minat pendengar untuk mendengarkannya secara serius.
2)
Untuk menghidupkan pidato bisa digunakan
gambar, cerita pendek, kejadian-kejadian yang relevan, pengertian yang jelas
dan berbagai ilustrasi yang menarik.
3)
Rasulullah
Saw sangat menarik ketika menyampaikan pesan, beliau pernah bercerita tentang
tiga orang yang terjebak dalam gua, mereka berdo’a dengan mengemukakan
amal-amal yang telah dilakukan sehingga hal ini menjadi penguat bagi
dikabulkannya do’a mereka, ada yang memerah susu dan diberikan kepada orang
tuanya sebelum diberikan kepada anak isterinya, ada yang diajak berzina oleh
wanita yang cantik tapi ia tidak mau dan ada yang mengelola upah pembantunya
hingga berkembang hartanya menjadi banyak lalu diserahkannya kepada sang
pembantu.
4. Pidato Yang
Memiliki Tujuan.
1)
Pidato yang memiliki tujuan adalah pidato yang
memiliki target yang hendak dicapai atau diarahkan oleh pembicara. Misalnya
agar jamaah selalu berusaha dalam hidup ini untuk bisa masuk surga dengan usaha
di dunia ini.
2)
Tujuan ini harus selalu diulang pengucapannya
dalam uraian agar pendengar tidak melupakannya.
3)
Rumuskan tujuan pidato dengan jelas sehingga
menjadi gagasan utama dalam pembahasan sebuah pidato sehingga mudah diingat
oleh pendengar.
4)
Hindari gagasan yang banyak dalam sebuah
pidato.
5)
Dalam
menyampaikan pesan, Rasulullah saw berbicara dengan singkat dan padat, sehingga
para sahabat bukan hanya memahami apa yang dikatakan Nabi, tapi juga bisa
menghafalnya dan menyampaikannya lagi kepada yang lain.
5. Pidato Yang
Memiliki Klimaks.
1)
Tidak sedikit orang yang mendengar pidato
merasa bosan atau jenuh karena hanya membeberkan suatu persoalan.
2)
Pembeberan suatu masalah harus menggunakan
gaya bahasa klimaks, perbesar ketegangan dan rasa ingin tahu pendengar dengan
menciptakan titik-titik puncak dalam pidato.
3)
Titik puncak itu harus diusahakan keluar dari
isi pidato, bukan karena tepukan atau teriakan pendengar.
4)
Titik-titik puncak pindato harus dipersiapkan
secara matang sebelum pidato
dilakukan.
5)
Rasulullah
pernah menyampaikan kalimat yang menjadi klimaks dalam pesannya, yakni tentang
kondisi umat yang menjadi seperti makanan lezat yang diperebutkan orang yang
lapar, bukan karena jumlahnya sedikit tapi karena penyakit mental yang disebut
dengan al wahn, yakni cinta
dunia dan takut mati.
6. Pidato Yang
Memiliki Pengulangan.
1)
Pengulangan itu penting, karena bisa
memperkuat dan memperjelas isi pidato sehingga tidak mudah dilupakan.
2)
Pengulangan yang dilakukan adalah pada isi
pesan, bukan pada rumusan pidato.
3)
Rasulullah Saw sering melakukan hal ini dengan
mengulang pesan yang ingin ditanamkan. Ketika sahabat bertanya tentang siapa
orang yang harus dicintai dalam hidup
ini, disebutkan ibu sampai tiga kali, baru kemudian bapak.
7. Pidato Yang
Berisi Hal-Hal Mengejutkan.
1)
Hal-hal yang mengejutkan biasanya menimbulkan
ketegangan dan rasa ingin tahu yang
besar.
2)
Pidato yang berisi hal-hal yang mengejutkan
bukanlah yang bersifat sensasi atau kontroversi, tapi karena dirasa baru atau
dikemas menjadi seperti baru dan menarik.
3)
Rasulullah pernah menyatakan: Tolong saudaramu
yang berbuat zalim dan dizalimi. Para sahabat sampai bertanya: bagaimana
menolong orang yang berbuat zalim? Nabi menyatakan: Hentikan kezalimannya.
8. Pidato Yang
Dibatasi.
1)
Pidato yang dibatasi adalah membatasi diri
dalam suatu persoalan, jangan berpidato dengan banyak soal, apalagi dengan
waktu yang sedikit. Pidato yang isinya terlalu banyak akan terasa dangkal.
2)
Rasulullah
Saw seringkali membatasi pembicaraannya dalam satu tema misalnya tentang
tanggung jawab mendidik anak dengan menyatakan: Setiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah, tanggungjawab orang tuanyalah apakah anak itu menjadi Yahudi,
Nasrani atau Majusi.
MEMAKMURKAN
MASJID
KHUTBAH
PERTAMA
إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ,
وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ
لَهُ,
أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ
مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا.
وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا محَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا.
اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ
وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا
فَرِيًّا،
أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ
اللهُ،
اُوْصِيْنِيْ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى
اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى :
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ
آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ
وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ
الْمُهْتَدِينَ
(QS at-Taubah
[9]: 18).
Jamaah Jumah Rahimakumullah
Bertakwalah
kepada Allah dengan sebenar-benarnya ketakwaan. Dengan begitu, kita akan
semakin mampu berpegang teguh dengan agama-Nya. Sehingga kita akan mendapatkan
kebahagiaan di dunia maupun di akhirat kelak.
Alhamdulillah, saat ini kita berada di satu tempat yang paling
dicintai oleh Allah, yakni masjid. Dari Abdurrahman bin Mihran, Rasulullah SAW
bersabda:
أَحَبُّ الْبِلاَدِ إِلَى اللهِ
مَسَاجِدُهَا وَأَبْغَضُ الْبِلاَدِ إِلَى اللهِ أَسْوَاقُهَا
Tempat yang paling Allah cintai adalah masjid, dan tempat yang
paling Allah benci adalah pasar. (HR Muslim)
Mengapa masjid begitu dicintai Allah? Imam Al Qurtubi menyebut,
karena tempat-tempat itu terkhususkan untuk melakukan berbagai ibadah, dzikir,
tempat kaum Mukminin berkumpul, tempat
syiar-syiar agama Allâh Azza wa Jalla terlihat jelas, dan tempat yang
dihadiri para Malaikat.
Tak heran bila baginda Nabi SAW, menjadikan masjid sebagai pusat
segalanya. Selain sebagai tempat ibadah, Rasulullah SAW menyampaikan ajaran
Islam dari tempat ini. Di Masjid Nabawi, beliau bertindak sebagai hakim yang
memutuskan ragam persengketaan di kalangan umat, bermusyawarah dengan para
sahabat, bahkan mengatur siasat perang dan siasat bernegara. Nabi SAW juga
menerima tamu delegasi dari negara lain juga di masjid. Walhasil, Masjid Nabawi
menjadi basis politik dan pusat pemerintahan Islam.
Keadaan yang sama berlangsung di masa Khulafaur Rasyidin. Masjid
tetap merupakan pusat kegiatan politik dan pemerintahan. Di sanalah Abu Bakar
menerima baiat (pengangkatan sebagai khalifah) setelah disetujui dalam
pertemuan di Saqifah Bani Saidah. Demikian seterusnya.
Jamaah Jumah Rahimakumullah
Sejarah mencatat setidaknya ada 10 fungsi masjid pada zaman Nabi
SAW yaitu: tempat ibadah ritual (shalat, zikir. tilawah al-Quran); tempat
konsultasi dan komunikasi umat tentang berbagai persoalan kehidupan; tempat
pendidikan; tempat pembagian zakat, ghanîmah, sedekah, dll; tempat latihan
militer/perang; tempat pengobatan dan
perawatan para korban perang; tempat pengadilan sengketa; tempat menerima tamu;
tempat menawan tahanan; dan pusat penerangan Islam.
Inilah fungsi masjid. Sudah
seharusnya orang-orang yang beriman memakmurkan masjid, sebagaimana fungsi yang
sebenarnya. Allah SWT memerintahkan:
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ
آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ
وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Sungguh yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang
yang mengimani Allah dan Hari Akhir, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah. Merekalah yang diharapkan
termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk (QS at-Taubah
[9]: 18).
Maka, jangan sampai masjid-masjid yang ada jatuh ke tangan
orang-orang munafik. Ingatlah peringatan Allah SWT:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا
وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا
الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
(Di antara kaum munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid
untuk menimbulkan kemadaratan (atas kaum Mukmin), karena kekufuran, untuk
memecah-belah kaum Mukmin serta demi menunggu kedatangan orang-orang yang telah
memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dulu. Mereka benar-benar bersumpah,
"Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Padahal Allah menyaksikan bahwa
mereka itu adalah para pendusta (dalam sumpahnya) (TQS at-Taubah [9]: 107).
Jamaah Jumah Rahimakumullah
Kita harus berhati-hati dengan adanya kampanye anti politisasi
masjid yang disuarakan orang kafir dan munafik belakangan ini. Ingat, masjid
adalah tempat kita bicara ajaran Islam A sampai Z. Dari mulai urusan
membersihkan najis hingga berbicara tentang pengaturan urusan umat dengan
aturan Islam. Berbicara urusan pribadi hingga bagaimana mengatur negara.
Terlebih lagi kalau kita tahu makna politik (siyasah). Dalam
pandangan Islam, politik adalah, pengaturan urusan-urusan masyarakat dalam dan
luar negeri berdasarkan syariah Islam.
Makna politik ini digali dari berbagai dalil, di antaranya dari
sabda Nabi SAW:
«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ
تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ
لاَ نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
Dulu Bani Israil diatur urusannya oleh para nabi. Setiap kali
seorang nabi wafat, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh tidak ada nabi
sesudahku. Yang akan ada adalah para khalifah dan jumlah mereka banyak (HR
al-Bukhari dan Muslim).
Mengomentari hadis ini, Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fath al-Bâri
(VI/497) menyatakan, “Di dalam hadis ini ada isyarat bahwa, tidak boleh
tidak, rakyat harus mempunyai seseorang yang mengurus berbagai urusan mereka,
membawa mereka ke jalan yang baik dan menolong orang yang dizalimi dari orang
yang berbuat zalim.”
Walhasil, politik bukan saja merupakan bagian integral dari Islam,
tetapi juga perkara yang agung dalam Islam. Karena itu sama dengan shalat,
politik—dalam makna mengurus urusan masyarakat dengan syariah Islam—tak bisa
dipisahkan dari Islam.
Semoga, Allah senantiasa menjadikan kita pembela agamanya dan
pemakmur masjid dengan terus menyuarakan Islam dengan lantang dari masjid.
Aamiin.
[]
بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ
اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ
الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ
السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ
إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah II
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ
وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ
عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا
كِثيْرًا
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ
اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ
اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ
بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ
النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا
تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ
وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ
وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ
الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ
وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ
وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ
الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ
مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ
أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ
ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ
اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا
اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا
رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ
حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ
تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.
عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا
بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ
وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ
اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ
اللهِ أَكْبَرْ